Belakangan ini, saya sering berbicara dengan seorang sahabat semenjak saya masuk SMA. Dahulu kala, kami selalu duduk bersama, bekerja sama, mengoper kertas-kertas kecil dari sudut meja, dan lain sebagainya. Apalah kata, ketika ia merasa bosan dengan lingkungan yang ada, ia pun pindah… tempat duduk.
Ehm, saya tidak menulis posting ini untuk membahas sahabat saya yang pindah tempat duduk. π
.
“Beda lautan, beda pula ikannya.”
Saat saya mengetik posting ini, saya teringat dengan kata-kata seorang guru fisika SMP. Semasa itu, saya masa bodo dengan hal-hal yang berkaitan dengan peribahasa, satir, dan hal-hal-tersirat-lainnya-yang-banyak-sekali-itu. Namun, kata-kata itu terasa kental di kepala, meski artinya masih belum bisa saya resapi dalam-dalam — setidaknya sampai seseorang mengingatkan kembali akan hal tersebut.
3 hari terakhir ini, saya sering berbicara dengan seorang kenalan dekat dari ibu saya. Beliau kritikus yang, bisa dibilang, memiliki opini yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Terus terang, opini beliau dapat dikata menarik meskipun topik yang dibahas mungkin sudah cenderung steriotip.
Suatu waktu, beliau pernah mengaitkan antara disiplin di jalan raya dengan pola pikir masyarakat Indonesia. Analogi yang diberikan beliau cukup memuaskan, setidaknya untuk saya yang masih amat muda dan masih dalam masa pencarian jati diri. Lha, kakak alumni sekolah saya pun mengaku belum menemukannya, apalagi saya… π
Kurang lebih, penbicaraannya adalah sebagai berikut:
P = Paman
M = masamune11
P: Shofa, kamu tahu bagaimana cara menilai pola pikir suatu negeri?
M: …Hmm… dari sistem pendidikan yang diterapkan negeri tersebut?
P: Ho! Ada yang lebih mudah daripada itu!
M: Hee?? Ada ya? Memangnya bagaimana, Om?
P: Kamu lihat bagaimana masyarakatnya berlalu lintas di jalan raya.
M: ….. Apa hubungan lalu lintas dengan pola pikir masyarakatnya, Om? = =a
P: Kalau sekelompok masyarakat itu tertib dalam berlalu lintas, pola pikirnya juga gak bakal lompat-lompat. Intinya, semuany tertib, rapi, bersih, dan sesuai dengan order. Nah, sekarang gak usah jauh-jauh deh. Kamu lihat Jakarta. Lalu lintasnya semrawut kan?
Karena saya tidak punya ide untuk menyangkal kalau itu salah (Lagipula, saya kira contoh tersebut cukup relevan dengan pola pikir masyarakat Indonesia sekarang… :P), maka saya hanya manggut-manggut setuju. Beliau juga membandingkan Jakarta dengan kota-kota besar yang ada di luar Indonesia, seperti New York (yang saya kira teratur. Ternyata malah kebalikannya…), Melbourne, dan Paris.
Yah, beliau sudah pernah ke tempat-tempat yang disebutkan di atas. Tak ada salahnya untuk sedikit “meminta” cerita, bukan? π
.
.
Pembicaraan mengenai pola pikir membawa saya pada perkara lain: apabila pola pikir membentuk kualitas manusia, maka pola pikir juga memegang peranan penting dalam masyarakat, sementara masyarakat menjadi mempunyai peran penting dalam roda pembangunan. Lalu, dengan sedikit pars pro toto, masyarakat Jakarta cenderung kurang bersahabat dalam berlalu lintas. Sementara itu, Jakarta adalah ibukota dari Indonesia — otomatis, setiap putusan-putusan yang dibuat di kota ini akan menjadi kaedah berpolitik-sosial-ekonomi-budaya-apalah-itu-saya-tak-tahu dalam masyarakat.
Hmm, kalau tata cara berlalu lintas orang Jakarta semraut, maka pola pikirnya pun kurang terstruktur dengan rapi. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang menjalankan roda pemerintahan? Apa pola pikir mereka juga sama? Eh, saya lupa kalau mereka jarang menyetir kendaraan mereka. Paling-paling mobil mereka disetir oleh supir pribadi π
Sebagai salah seorang siswi yang belajar dengan dua sistem, yaitu Program Sertifikasi Internasional dengan Program Nasional, saya memdapat kesempatan untuk membandingkan metode pengajaran, bahan yang diajarkan, serta cara penjabaran materi inti pelajaran MIPA.
Dan saat itulah saya menyadari bahwa pelajaran yang ada di sekolah membentuk pola pikir siswa-siswi di sekolah.
Sejauh ini, saya berpendapat kalau pendekatan yang dilakukan kurikulum nasional dengan kurikulum Cambridge (sertifikasi internasional) sangatlah berbeda. Mari saya jabarkan.
- Kurikulum Sertifikasi Internasional
Pada intinya, apa yang dipelajari dalam kurikulum ini cenderung lebih simpel daripada apa yang diajarkan kurikulum nasional. Pendekatan yang diberikan oleh kurikulum ini adalah untuk mencapai sesuatu dengan berpikir sesimpel mungkin. Seperti yang dikatakan theblangkon waktu itu:Kalau di A-Level, kita cuma dikasih rumus dasar. Namun, kita diharapkan dapat menyelesaikan suatu soal yang rumit-amat-sangat… Dan itu semua bergantung dari logika dan analisa yang kita punya.
Seperti yang dikatakannya, dalam sertifikasi internasional (dalam hal ini, saya menyinggung salah satu program sertifikasi internasional bernama A-Level), kita hanya diberikan beberapa rumus dan konsep dasar. Ketika ada soal sulit, kami diharapkan dapat memanfaatkan logika, analisa, dan kreativitas yang kita punya untuk memecahkan sebuah masalah, seakan-akan kita diberikan blok-blok mainan kayu untuk disusun dengan cara yang kita tahu atau suka.
Dalam A-Level, jawaban final bukanlah segalanya. Yang penting adalah bagaimana seorang anak memakai blok-blok kayu yang ia punya, kemudian mengaturnya sedemikian rupa sehingga siswa puas dengan jawabannya. Meskipun pada akhirnya susunan blok-blok tersebut tidak sempurna dengan patokan jawaban final, namun apa yang berarti adalah proses yang ditempuh oleh siswa tersebut. Dalam memecahkan masalah ini, siswa mampu mendemonstrasikan bahwa ia dapat menganalisa dan menarik deduksi dengan baik, dilengkapi dengan pemberian alasan yang rasional.
Dalam kurikulum internasional, hal yang penting adalah proses, karena proses mencerminkan bagaimana pikiran siswa bekerja.
- Program Kurikulum Nasional
Beda dengan program sertifikasi internasional yang cenderung memakai pendekatan yang lebih simpel dan membiarkan siswanya untuk menyusun balok-balok yang ada, kurikulum nasional memberikan petunjuk absolut agar balok yang disusun memiliki bentuk yang tepat. Belum lagi, tingkat kesulitan kurikulum nasional tampaknya justru melebihi kurikulum sertifikasi Internasional.Kurikulum nasional, di mata saya, cenderung hanya memberikan hasil yang telah jadi. Ambil saja soal-soal fisika dan matematika: Semua rumus sudah tertera di buku, semuanya ada pentunjuk derivasinya, semuanya ada petunjuk cara-cara dan bagaimana cara mendapatkannya. Hee? Tidak ada yang salah kan? Maksud saya, semua itu tertera dalam buku pelajaran yang harusnya dibaca muridnya bukan? πJustru hal seperti ini dapat merancang pola pikir yang sempit. Apabila seorang siswa sudah dididik untuk membuat sesuatu berdasarkan struktur yang sudah ada, kapan ia akan bereksperimen menemukan sesuatu yang baru? Inovasi muncul karena rasa ingin tahu, sementara rasa ingin tahu dapat mati dalam sistem pendidikan yang demikian.
Seperti yang saya telah katakan sebelumnya, kurikulum nasional sering memberikan sesuatu yang sudah jadi. Kurikulum nasional memberikan terlalu banyak petunjuk dalam soal-soal yang perlu diselesaikan. Hal ini dapat merusak pola pikir yang kreatif. Siswa cenderung berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan baru yang mungkin muncul, karena sudah terperangkap dalam pola pikiran bahwa “Apa yang sudah diberikan pasti benar, mengapa harus capek-capek cari cara lain?”
Berikut kata-kata salah satu teman ibu saya ketika hal ini diungkit:
Coba bayangkan Shofa. Kalau saja kurikulum nasional diganti dengan struktur kurikulum semacam Cambridge, pola pikir siswa-siswi di Indonesia bisa berubah! Banyak yang akan berpikiran luas, karena pola pikir demikian tidak bisa didapat dalam waktu singkat. Pola berpikir demikian harus dipupuk sejak mereka menginjak masa remaja. Lagipula, transisi kurikulum seperti itu tidak sulit, karena pelajar Indonesia sudah dihadapkan dengan materi yang lebih sulit daripada sertifikasi Internasional. Ini bukan hanya masalah materi, namun masalah pola pikir juga.
Karena dalam kurikulum nasional, jawaban adalah segalanya.
.
.
Kemudian, saya kembali berpikir. Setelah sepanjang ini saya menulis, terbesit dalam pikiran saya satu hal yang penting — satu hal yang dibutuhkan banyak orang agar dapat menjalani hidup yang lebih nyaman, aman, tenteram, dan sejahtera.
Struktur dari sebuah sistem.
…
….Hanya saja, mengingat sekarang sudah tengah malam, saya kira ocehan saya malam ini selesai sampai di sini. Ocehan saya mengenai struktur? Akan saya lanjutkan kalau saya ada waktu untuk melanjutkan… dan tidak lupa dengan hal ini π *digebuk*
Permisi semuanya~ *pergi tidur*
.
.
[Selesai ditulis pada dini hari tanggal 9 September 2009. Sang penulis sedang bosan karena ia tidak bisa menyalurkan hasrat menulisnya melalui omake malam itu]
Technorati Tags: Kurikulum Nasional, Kurikulum Internasional, Opini, Sekolah
Pertamax. … Di Indonesia BBM naik lagi gak ‘__’ *digetok karena OOT*
Hum… jadi perbedaannya hanya pada metode pembelajaran yang sudah tersedia atau hanya dipaparkan basisnya saja ya :-?. Menarik….menarik… Jadi inget sistem SOA nya IBM = = ;;.
“Belajar untuk menghargai pekerjaan sendiri daripada harus berpatok ke rumus yang ada”, Benar ga? soalnya yang kutangkep dari perumusan tulisannya tuh begini π
Membaca ini saya jadi ingat dua hal.
Tulisan saya mengenai metode pembelajaran sejarah di SMA,
dan metode Problem-Based Learning di tempat kuliah saya.
Keduanya sama-sama ingin memfokuskan tentang ‘bagaimana’, bukan ‘apa’; sebuah masalah yang mungkin terjadi di pendidikan Indonesia ini. π Kalo output aja yang dipikirin… psikotes pun bisa nyontek. π Lemayan buat CV.
Btw, soal lalu-lintas Jakarta saya lihat sebagian gara-gara mau praktisnya aja dan ngga menuruti kaedah aturan lalu lintas. π Mungkin memang serupa dengan sebagian orang Indonesia.
panjang. males….
@sychroverse:
Well, diberi rumus itu baik, yang artinya kita ada gambaran umum. Tapi kalau banyak-banyak juga tidak baik kan? Kesannya seperti disuapin.
[Pure Mathematic Mode: On]
Misalkan, untuk Integral Parsial dalam permasalahan kalkulus. Sejauh ini, saya belum menemukan hubungan antara rumus Integral Parsial dengan Turunan Perkalian. Di kurikulum Nasional, semuanya dipaparkan begitu saja, padahal rumus Integral Parsial berasal dari rumus turunan juga.
[PMM: Off]
π
@Xaliber:
Justru karena sebagian dari masyarakat inginnya sesuatu yang instan, yang bagian masyarakat lainnya terdisrupsi bukan? (Yang ujungnya berakhir dengan chaos)
Eh, saya ngawur… *ditimpuk*
Maksud saya, justru karena ingin semuanya instan, maka proses pun jadi kelihatan tidak berarti bukan? Yang penting jadinya hasil akhir. Mau dapatnya dengan mencontek lah, yang penting hasil akhirnya… π
@:3
Ocehan saya panjang terus lho… π *ditendang*
Ho…
Benar juga ya…
Begitulah, masyarakat Indonesia ini maunya mudah saja. Maunya sudah disajikan cara bagaimana mendapatkan jawaban, bukan berpikir bagaimana cara mendapatkan jawaban.
Jadi kurikulum nasional lebih mementingkan jawaban dibanding dengan kurikulum internasional yang mementingkan proses.
Bahkan UN sekarang mengadopsi sistem itu bukan ?
Hasil, bukan proses
kurikulum… memang perlu diubah, cara berpikir-nya juga harus berubah. Dari Hasil menjadi Proses….
*keingetan sebuah tes di forum…. lol
Sebuah proses memberikan pembelajaran. Klo kata yang di tipi2 mah
“Gak ada Noda gak Belajar”
Mengenai Jakarta, bukan jakarta-nya yang salah, tapi pembangunan Jakarta-nya yang salah….sama orang2nya juga sih masyarakat Indonesia.
Semoga lebih baik lagi
*komen gak mutu karena diajak untuk sedekah komen…
Yang bisa saya tangkap hm… Indonesia yang memakai ‘Kurikulum Nasional’ yang bisa disebutkan ‘Kurikulum Asal Jawaban Benar Semua Lancar’.
Ah, tapi bukannya orang Indonesia juga memakai suatu proses untuk bisa mendapatkan jawaban tersebut kan? Seperti menyusun-nyusun balok kayu menjadi rangkaian jawaban. Sayangnya yang disusun di sini bukan sebatas balok kayu untuk mendapatkan jawaban tapi mendapatkan jawaban tahu maksudnya? Itu loh yang kita sebut dengan lirik-kanan-kiri-depan-belakang, itu juga suatu proses kan.
Kalau saja para tim penilai memberi nilai seperti ujian tertulis pada Anime Naruto mungkin orang Indonesia bisa mendapat nilai yang besar ya.
*maaf ngaco*
Ah iya. Di sana kan jalanannya berblok2. Eh, bangunan?
Kalo di sini paling cuma satu yang dijadiin jalan utama. Trus cabang yang ntah berantah.
PS: Tiga kalimat di atas saya cukupi gak apa ya Shoffffah.
Mengenai kurikulum itu, saya juga belajar dengan kurikulum tersebut di SMP. Walaupun kurikulum nasional tetap jadi pilihan utama.
Memang begitu, kurikulum Nasional hanya memberikan cara-cara yang terstruktur dan tertulis di textbook . Saya jadi kesal kalau tiba-tiba guru Matematika saya memberikan nilai delapan yang seharusnya mendapat nilai sempurna, hanya karena saya menggunakan cara cepatnya..
Padahal di olimpiade cara cepat malah dapat nilai plus,, π
Tapi, kurikulum Internasional itu memang susah. Harus mengembangkan pikiran siswa sendiri. Kalau tidak mengerti jadi ribet,,malas mencari rumus sendiri, jadinya tidak tahu sendiri. Meski begitu, ini lebih baik untuk mendidik kita berpola pikir kreatif, mandiri dan berlatih untuk mementingkan proses dibanding hasil akhir. Setidaknya untuk lebih berusaha…
BTW, salam kenal!! π
@Aroe:
Tanah Jakarta kan dari dulu di situ… yang mengubah Jakarta siapa? π
*ditimpuk karena ngaco*
@Raditya Triputra
Tiba-tiba saya teringat dengan entri ini. Mungkin karena impresi yang diberikan ‘lirik-kanan-kiri-depan-belakang’ itu memang demikian, atau anda memaksudkan suatu hal yag lain? π
*slapped*
Ehm, mungkin lebih condong ke arah pendekatan. Kalau saya lihat kembali, kurikulum nasional itu memberikan aura *halah* agar siswa dapat memecahkan masalah dengan waktu seefektif mungkin — dan semua cara itu sudah tertera dalam buku.
Sedangkan kurikulum internasional… yah… kalau mau menemukan cara mudah, maka siswa tersebut harus menemukan cara mudah sendiri, dengan bekal fakta-fakta dasar.
‘__’a
@syaorannatsume:
Kalau tidak mau ribet, yah sulit mengikuti kurikulum internasional. Toh, modal utama supaya tidak ketinggalan di kurikulum tersebut adalah kegigihan…. >___> *efeknya sudah sangat terasa*
Salam kenal juga~ ^^
@masamune11:
Yep, output for the win. Not the input, nor process.
Sayang sekali pengembangannya jadi begini. Padahal katanya UN tahun 1950-an dulu itu memerhatikan proses lho. Tapi entah bagaimana rupanya. π
@Raditya Triputra:
Kalau kayak di Naruto gitu sih, menurut saya, jawaban nggak dinilai. Tapi proses pencarian informasi. Soalnya dunianya kan dunia intelijen. Berbeda dengan dunia normal seperti kita.
@Xaliber:
He… Ini informasi bagus… Bisa dijadikan titik riset soal pendidikan… π
*terus-terusan nambah kerjaan, padahal tugas sekolah sudah menggunung*
*ditendang kembali ke tumpukan tugas*
Saya jadi ingat… serasa pelajaran di Australia jauh lebih mudah daripada di Indonesia (mampus saya pas datang-datang semester akhir kelas 3 SMP, disodori rumus-rumus ga jelas…).
Memang tidak jarang disini dalam pelajaran (atau lebih utamanya lagi, bimbel) dipaparkan ‘carcep’ [CAra CEPat] seperti rumus-rumus turunan yang entah darimana asalnya tidak dijelaskan. Daripada memahami konsep, disuruh menggunakan cara yang paling cepat untuk menjawab soal SNMPTN π
Sampai sekarang saya masih belum mengerti penggunaan cara cepat integral parsial, dengan mendifferensiasi bagian depan dan mengintegralkan bagian belakang… *halah*
Ah, Bandung juga semrawut kok, Mbak…. π *dilindes*
menurut anda pengertian dari kurikulum internasional itu sendiri apa cich?
bales ke email aq aja yah……………
this is helpful
thanks