Sudah berapa lamakah saya menulis di sini? Sepertinya cukup lama—bahkan hampir setahun. Ah, sudahlah; bila saya menatap layar lebih lama lagi, writer’s block saya makin menjadi-jadi. Ujung-ujungnya malah kehabisan ide duluan sebelum menulis.
Yah, untuk sementara, isi pos ini berhubungan dengan review film dulu ya π
Ada banyak alasan mengapa seseorang bisa menyukai sebuah angka, mulai dari alasan personal yang mungkin terkenang pada memori orang tersebut, hingga filosofi yang tersembunyi pada angka tersebut. Alasan-alasan tersebut biasanya tidak berkaitan dengan logika, karena kebanyakan hubungannya dengan perasaan suka (lha, wong suka itu ya rasa juga gitu lho :D)
14 Blades.
Bagi saya, angka 14 bukanlah suatu hal yang istimewa. Anda bisa mendapatkan empat belas dengan mengalikan angka tujuh dengan angka dua, menambah sejumlah batang sial dengan satu batang ekstra, mengurangi jumlah rakaat shalat fardhu yang biasa dilakukan setiap hari (asumsi bahwa shalatnya tak ada yang bolong lho ya :lol:) dengan jumlah rakaat shalat di perbatasan sore dan malam hari. Hasilnya toh sama saja: 14.
Sudah? Sudah saya tulis intro dari pos ini kan? Bagus, kini bagian bagaimana gerangan saya akhirnya tertarik untuk menonton film ini meskipun bahasa aslinya bahasa mandarin. Bukannya sensitif atau bagaimana, tapi telinga saya memang tidak dilatih untuk mendengar bahasa timur sana (minus bahasa jepang dan sedikit bahasa korea :lol:). Takutnya saya malah sibuk baca terjemahan filmnya daripada nonton filmnya lebih lanjut.
Tanggal 15 Maret lalu, saya tengah berjalan-jalan di BIP ketika berniat menonton di salah satu bioskop ternama di Indonesia. Tanpa melihat jadwal tayang via jaringan, sayapun nekat ke sana. Rencananya mau menonton film yang memang disajikan di sana dan belum pernah saya tonton. Di antara tumpukan film-film Indonesia dengan tema horor dan (terkesan) sensualitas, saya akhirnya pasrah memilih 14 Blades. Tak peduli mau mata cape’ karena terlalu fokus pada terjemahan film, saya membeli tiketnya. Perlu saya tambahkan bahwa saya bahkan tidak terlalu mengenal nama Daniel Lee, meskipun saya sempat mendengarnya berkali-kali; gampang, bisa tanya Om Googs.
Film dimulai dengan pengantar (penjelasan dasar) akan maksud dari 14 Blades itu. Latarnya waktu dan tempatnya adalah di tanah Cina sana, dibawah Dinasti Ming. Saat itu, keadaan di sana penuh dengan kekacauan berhubung akan kaisar yang lemah. Jinyi Wei merupakan organisasi yang dibentuk dengan tujuan melindungi kaisar (pada awalnya) dan menjaga kedamaian di tanah Cina. Kehidupan mereka sepenuhnya diabidikan pada sang kaisar. Mereka lepas dari hukum dan bebas mengeksekusi orang yang dianggap sebagai musuh dinasti, dengan seizin sang raja. 14 Blades itu sendiri merupakan 14 pedang yang diberikan (dititipkan?) pada Jinyi Wei paling superior dari yang lain—ia mendapat gelar Qing Long (Naga Hijau).
Film ini mematok Qing Long sebagai pemeran utama, di mana ketika dirinya diperdaya hampir melayani pihak pembelot dinasti. Masalah-demi masalah timbul, hingga akhirnya Qing Long mampu kabur dan bertemu dengan Qiao Hua, seorang anak gadis dari pemilik jasa angkut barang. Bertekad untuk melayani kaisarnya sampai akhir, Qing Long berusaha mencegah pembelotan dari pihak Pangeran Jia (perencana kudeta) untuk terjadi. Seiring dengan perjalanan, ia juga bertemu dengan Judge of the Sands, pemimpin Heaven Eagles Gang. Di balik perjalanannya, anak dari Pangeran Jia mengintai untuk membunuhnya; Tuotuo, anak gadis angkat dari Pangeran Jia, memiliki kesetaraan tingkat bertarung dengan para Jinyi Wei.
Film ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang ingin melihat bagaimana pengkhianatan, cinta, rasa setia kawan (???), dan akhir yang miris (….?). Menarik.
Oh, saya tahu ini review film yang singkat, namun bila saya umbar lebih jauh, mungkin saja saya malah keceplosan menulis cerita dan plot-plotnya. Ah, saya juga tidak mengikuti lagu-lagu yang menjadi lagu belakangnya (backsound). Boro-boro inget, komposeryna saja lupa-lupa inget (haha)